Pages

Monday, June 13, 2011

KONSEP TAUHID DALAM KETUHANAN ISLAM

A. Beberapa Istilah Penting dalam Konsep Ketuhanan Islam
Ada beberapa keyword dalam memahami konsep ketuhanan dalam Islam, diantaranya kata Allah, ahad, dan tauhid. Pada bahasan ini akan dikonsentrasikan pada pemerian terhadap makna yang terkandung dalam kata Allah, ahad dan tauhid.
Secara etimologis kata Allah (الله) diderivasi dari kata ilah (إله) yang berarti menyembah (عبد). Kata Allah (الله) juga dapat diderivasi dari kata alih (أله) yang berarti ketenangan (سكن), kekhawatiran (فزع) dan rasa cinta yang mendalam (ولع). Ketiga makna kata alih (أله) mengarah kepada makna keharusan untuk tunduk dan mengagungkan (Ibnu Asyur, vol I, 1884: 162). Hanya saja kata alih kurang begitu popular untuk menggambarkan zat ketuhanan, kata alih tersebut hanya menggambarkan keadaan sang hamba dalam interaksinya dengan yang disembah. Sedangkan kata ilah memiliki tendensi yang positif untuk dijadikan sebagai derivasi dari kata Allah (الله). Sebab kata Allah dapat berarti penyembahan. Demikian juga bentuk plural dari kata ilah (إله) adalah aalihah (آلهة) yang berarti berhala yang dijadikan sesembahan. Selain itu menurut Abu Haitsam sesuatu tidak dapat disebut sebagai ilah sampai sesuatu itu disembah atau dijadikan sesembahan (Ibnu Manzhur: 114). Kata ilah (إله) ini selanjutnya mendapatkan tambahan (الـ), karena tuntutan gramatikal bahasa Arab maka huruf hamzah yang ada pada kata ilah (إله) dilebur dan diganti dengan huruf lam yang bertasydid.
Adapun kata ilah (إله) sendiri berakar dari induk kata wilah (ولاه) yang dapat berarti sebagai: (a) sebuah bentuk kesedihan yang mendalam yang dapat menghilangkan akal sehat, (b) rasa bimbang yang disebabkan oleh tebalnya rasa cinta, (c) sebuah bentuk kasih sayang (Mu’jam, 1333). Arti sederhana dari kata wilah (ولاه) adalah rengekan seorang anak kecil kepada ibunya ketika dia butuh sesuatu (Ibnu Manzhur, 115). Namun bagaimana kata ilah (إله) berevolusi menjadi sebuah kata yang mengekspresikan sebuah entitas ketuhanan? Makna yang dikandung baik itu dari kata ilah (إله) ataupun induk kata tersebut wilah (ولاه) setidaknya mampu mengungkapkan sebuah ekspresi seorang hamba kepada tuannya. Kata wilah (ولاه) mampu mengekspresikan rasa butuh seorang hamba kepada tuannya atas tuntutan kehidupannya, atau pengungkapan kelemahan sang hamba kepada tuannya, sehingga mengharuskan hamba untuk berlindung dalam kebesaran sang tuan. Kata wilah (ولاه) pada intinya menyiratkan makna kebutuhan yang lemah terhadap perlindungan dari yang kuat, seperti kebutuhan perlindungan dari seorang anak kepada ibunya. Kata wilah (ولاه) inilah yang menjadi akar kata yang digunakan untuk mengungkapkan ekspresi ketuhanan dalam bahasa Arab.
Kata pertama yang dicatat sejarah dalam pengekspresian ketuhanan adalah kata ilahah (إلاهة). Kata ini merupakan nama bagi dewa matahari yang disembah oleh masyarakat Arab. Kata ilahah (إلاهة) selanjutnya digunakan untuk mengekspresikan sifat-sifat matahari. Salah satunya adalah kata ulahah (الألهة) yang berarti terik matahari yang panas. Kata ilahah (إلاهة) juga tidak lepas dari makna keagungan, ketundukan dan bahkan penyembahan. Sebagaimana dicatat oleh Ibnu Manzhur bahwa masyarakat menamakan matahari dengan ilahah (إلاهة) karena mereka menyembah dan mengagungkan matahari (Ibnu Manzhur: 115). Dapat disimpulkan bahwa kata ilah (إله) dan kata Allah (الله) pada awalnya berasal dari kata wilah (ولاه), yang berarti ketundukan, pengagungan, dan ungkapan penghambaan. Selanjutnya dari kata wilah (ولاه) diderivasikanlah kata ilahah (إلاهة) yang menjadi nama bagi dewa matahari. Nama dari dewa matahari tersebut selanjutnya berevolusi menjadi kata Allah.

Sedangkan dalam terminologi Islam, kata Allah merupakan nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan Tuhan. Kata Allah merupakan ekspresi ketuhanan yang paling tinggi dalam Islam, selain bermakna kemuliaan dan keagungan, kata tersebut juga mensyaratkan bahwa kata Allah mewajibkan seluruh bentuk kemuliaan dan menegasikan segala bentuk kekurangan (Ridho, 1947: 46). Hal serupa juga disampaikan oleh Ibnu Asyur ketika memberikan defenisi terhadap kata Allah. Ibnu Asyur berkata, bahwa kata Allah adalah nama bagi zat yang wajib wujud yang berhak untuk mendapatkan segala bentuk pujian (Ibnu Asyur, 1884: 162).
Kata penting selanjutnya dalam konsep ketuhanan Islam adalah kata ahad dan tauhid. Kata ahad memiliki peran yang sangat penting dalam mengekspresikan keesaan Tuhan yang mutlak. Kata ahad berfungsi untuk menggambarkan sebuah bentuk ketunggalan atau keesaan yang senantiasa kekal dalam ketunggalannya dan tak ada sesuatu pun yang berkongsi dalam ketunggalan dan keesaannya itu, bahkan kata ahad merupakan sebuah bentuk kata numerik yang menafikan pluralitas (Ibnu Manzhur: 35). Dari kata ahad selanjutnya melahirkan istilah tauhid yang menjadi ciri dan karakteristik dasar dalam konsep ketuhanan Islam. Tauhid bermakna sebagai -sebuah konsep ketuhanan- yang menghilangkan segala bentuk gambaran yang ada dalam pemahaman, khayalan ataupun fantasi terhadap pandangan tentang ketuhanan ataupun yang berkaitan dengan zat Tuhan (Jurjani, 2002: 73). Selain tauhid, ada istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan konsep ketuhanan Islam, yaitu monotheisme. Dalam kamus Oxford, kata monotheism berarti, “the belief that there is only one God” (Hornby, 1995: 753).

selengkapnya......

B. Tauhid dalam Konsep Ketuhanan Islam

Pada bagian di atas telah dipaparkan makna dari kata kunci dalam memahami konsep ketuhanan Islam, kata tersebut adalah kata Allah, ahad dan tauhid. Untuk memahami konsep ketuhanan dalam Islam, maka metode yang paling membantu adalah dengan menyimak tafsiran para ilmuwan Islam ketika mereka berinteraksi dengan kata-kata ini. Basis dari segala pandangan teologis para ilmuwan Islam, berporos dari cara mereka menafsirkan dan menginterpretasikan kata Allah dan kata ahad.

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa kata Allah merupakan nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan Tuhan. Kata Allah merupakan ekspresi ketuhanan yang paling tinggi dalam Islam, selain bermakna kemuliaan dan keagungan, kata tersebut juga mensyaratkan bahwa kata Allah mewajibkan seluruh bentuk kemuliaan dan menegasikan segala bentuk kekurangan, kata Allah juga merupakan nama bagi zat yang wajib wujud yang berhak untuk mendapatkan segala bentuk pujian. Sedangkan kata ahad merupakan sifat bagi ketunggulan yang senantiasa abadi dalam keesaannya.
Dalam tafsirnya, Razi berpendapat, bahwa kedua kata tersebut ketika digabungkan maka akan melahirkan dua bentuk makna yang simetris satu sama lain. Kata Allah melahirkan makna positif, yaitu penetapan sifat kesempurnaan, keagungan, dan kebesaran kepada zat Tuhan. Dengan menggunakan kata Allah, berarti mengisyaratkan bahwa zat Tuhan merupakan zat yang paling agung, paling sempurna dan paling berkuasa. Namun keagungan, kesempurnaan dan kebesarannya belum mampu memberikan makna yang signifikan jika, dalam benak manusia belum jelas, apakah keagungan, kesempurnaan dan kebesaran itu hanya dimilikiNya sendiri, atau ada zat lain yang berkongsi denganNya dalam kepemilikan terhadaps sifat-sifat tersebut. Dengan menambahkan kata ahad, maka segala kemungkinan tersebut ditepis, dan bahkan sifat ini justru semakin menambah kesempurnaan dan kemuliaan Tuhan. Dia sendiri dalam keagungan yang tak butuh kepada apa pun. Dia tunggal dalam kesempurnaan dan tak bergantung terhadap apapun. Dia esa dalam kebesaranNya yang tak satupun mampu menandingiNya. Sehingga kesempurnaan, kemuliaan dan kebesaranNya merupakan sesuatu yang mutlak.
Dengan adanya sifat Ahad ini, akan menambah kemutlakan terhadap otoritas Tuhan. Dia adalah satu-satunya yang berhak mendapatkan atribut ketuhanan di semesta raya ini. eksistensi yang hakiki hanya dimiliki oleh Tuhan, sedangkan keberadaan sesuatu yang lain hanyalah merupakan pancaran dari keberadaan Tuhan. Segala sesuatu membutuhkan Tuhan untuk eksistensinya, namun Tuhan tak membutuhkan apa-apa dalam mewujudkan eksistensinya (Razy, vol XXXII, 1981: 180).
Jika ditelisik secara filosofis makna kalimat (الله أحد), sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Sina, bahwa Allah Ahad, bermakna bahwa Tuhan esa dalam segala aspek, dan tak pernah sekalipun mengandung pluralitas. Baik itu pluralitas maknawi, sebagai mana yang ada dalam genus dan karakter, ataupun pluralitas yang real, sebagai mana yang nampak dalam dunia materi. Keesaan ini juga menegasikan dan mensucikan Tuhan dari hal-hal yang mengindikasikan bahwa Tuhan memiliki bentuk, kualitas, kuantitas, warna dan segala jenis gambaran akal yang mampu merusak kebersahajaan Yang Satu. Demikian juga, Ahad mengindikasikan bahwa tak ada sesuatupun yang menyamai-Nya (Ibnu Asyur, vol XXX, 1884: 614). Seluruh keyakinan dan kepercayaan ini merupakan landasan yang paling fundamental dalam pembentukan dan konstruksi akidah tauhid yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Bahkan seluruh ajaran risalah kenabian berporos pada konsep tauhid ini.
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa dalam konsep ketuhanan Islam, Tuhan merupakan Zat yang Tunggal dalam wujud, kesempurnaan, kemuliaan dan keagungan. Keesaan Tuhan merupakan syarat yang absolut dalam konsep ketuhanan Islam. Otoritas ontologis tertinggi terletak pada Zat Tuhan. Sehingga tak ada sesuatu pun yang mampu menyamai atau bahkan berkongsi dengan Tuhan dalam kepelimikan atribut-atribut ketuhanan.

selengkapnya......

C. Jejak Historis Konsep Tauhid pada Masyarakat Arab

Jika dilacak secara historis, dengan sangat jelas terlihat bahwa Islam bukanlah sebagai pioner yang melahirkan konsep tauhid seperti yang ada sekarang. Akan tetapi, konsep tauhid telah ada dan berkembang pada masyarakat Arab jauh sebelum Nabi Muhammad mengumumkan dakwah kenabiannya.

Pada masyarakat Arab dikenal sebuah agama yang bernama “Hanafiyah”. Secara etimologis kata hanif (حنيف) memiliki nuansa makna asketis, yaitu melakukan meditasi dengan tujuan beribadah dan kontemplasi. Sedangkan dalam pengertian terminologis kata hanif ditujukan kepada golongan yang berkhitan, melakukan ibadah haji di Mekah. Tabary menambahkan bahwa salah satu syarat untuk utama dalam penggolongan seseorang kepada agama Hanafiyah adalah berpegang teguh kepada agama Ibrahim dan para pengikutnya, meninggalkan penyembahan terhadap berhala, dan mandi suci jika dalam keadaan junub (Shabbag, 1998: 31).
Jika ditelisik lebih jauh lagi, maka akan didapati, bahwa agama Hanafiyah berakar dari gerakan keagamaan yang marak di Semenanjung Arab yang terjadi sejak millenium keempat sebelum Masehi. Gerakan tersebut adalah merupakan sebuah revolusi keagamaan yang dipelopori oleh para agama Iliyah kuno. Gerakan tersebut dimulai di Ugarit, sebuah daerah yang ada di Suriah, yang dipelopori oleh para pengikut Iil yang menghendaki sebuah kepercayaan keagamaan yang bercorak monotheistik yang menghilangkan kekuasaan para penghubung antara manusia dengan Tuhan. Kata Iil (إيل) sendiri merupakan bahasa Ibrani atau Syiria yang diarabkan yang merupakan salah satu nama Allah. Sebagaimana yang terlihat dari nama para malaikat Islam, misalnya Jibril (جبرائيل), Mikail (ميكائيل), Israfil (إسرفيل) dan seterusnya (Ibnu Manzhur: 191).
Lebih lanjut, George Kan’any memberikan penjelasan yang lebih mendetail berdasarkan peneletiannya terhadap manuskrip ataupun artifak yang mengandung kata Iil ini Aram. Dia berpendapat bahwa kata ini memiliki perkembangan secara gramatikal sejak milenium pertama sebelum masehi. Perkembangan tersebut dapat dibagi menjadi dua, yang pertama dari bentuk kata tersebut dan yang kedua dari segi makna yang dihadirkan dari kata tersebut. Dari segi bentuknya, kata Iil mempunyai banyak perkembangan yaitu (ا ل ه), (ا ل ها), (ا ل هه), (ا ل هم), dan (ا ل ه ي ا). Sedangkan dari segi makna kata Iil dalam bahasa Arab kuno berkembang menjadi kata Allah (الله) (Shabbag, 1998: 26).
Para pemeluk agama Hanafiyah menyandarkan ajaran mereka kepada Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim mempunyai sejarah tersendiri dan peran penting dalam perkembangan ajaran Hanafiyyah. Dalam sumber sejarah telah disebutkan adanya pertikaian dan perselisihan yang terjadi antara pengikut Iil yang menganut ajaran monotheisme dengan para penyembah Sin, dewa bulan kaum pagan. Perselisihan diantara kedua pengikut ini begitu tajam, namun akhirnya pertikaian tersebut dimenangkan oleh kaum pagan yang kali ini yaitu para pengikut Sin. Hal inilah yang menyebabkan ketidakteraturan situasi sosial yang ada di Iraq waktu itu. Krisis keamanan yang melanda wilayah Iraq, dan juga penguasaan kaum pagan di kota Iraq, memaksa para pengikut Iil meninggalkan kota Iraq dan menuju Kan’an.
Peristiwa eksodus tersebut dipimpin oleh seorang raja yang juga sekaligus sebagai pengikut Iil. Raja tersebut bernama Yatsi’ Iil (ياثع إيل), yang berarti “Tuhannya satu dan sekaligus sahabatnya”, atau nama lain dari Nabi Ibrahim. Makna ini tidak berbeda dari gambaran yg diberikan Alquran, terhadap relasi antara Ibrahim dan Tuhannya, yang diekspresikan sebagai Khalilullah, kekasih Allah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepercayaan monotheisme dari agama Hanafiyah berasal dari konsep ketuhanan kaum Aram, yang dibawa oleh Nabi Ibrahim ke Semenanjung Arab (Shabbag, 1998: 23-26).
Ketika menjelang kedatangan risalah Islam, konsep ketuhanan dan ritual yang diajarkan oleh agama Hanafiyah cukup berkembang di Semenanjung Arab, khususnya di Mekah. Beberapa pengikut Hanafiyah yang sempat terekam dalam sejarah misalnya, Qiss bin Sa’idah, Zaid bin Amr, Umayyah Abi Shalt, Arbab bin Riab, Suwaid bin Amir, As’ad Abu Karb, Waki’ bin Zahir, Umar bin Jundub, Waraqah bin Naufal, Musailamah dan beberapa nama lainnya. Para pengikut Hanafiyah ini membentuk gerakan yang terorganisir untuk menyebarkan ajaran monotheisme dari kebudayaan Aram.
Namun sayangnya gerakan mereka tidak ada yang berhasil, kecuali gerakan yang dipimpin oleh Musailamah. Musailamah mampu terus berkiprah dalam dunia Arab sampai wafatnya Nabi Muhammad, bahkan dalam riwayat disebutkan, Musailamah mampu membentuk masyarakat tandingan untuk Islam. Musailamah mampu mengadopsi ritual keagamaan dari kaum Hanafiyah, dan mengaktualisasikan kembali kitab suci kaum Hanafiyah, yaitu Shuhuf Ibrahim (Shabbag, 1998: 42-44). Selain Musailamah, tokoh yang sempat bersinggungan dengan Nabi adalah Waraqah bin Naufal, hal ini sudah sangat masyhur dalam sejarah awal Islam. Kesimpulan yang diingin dicapai dari pemaparan historis ini adalah untuk melacak jejak historis dari konsep monotheisme Islam dan memberikan gambaran terhadap karakteristik yang akan dihasilkan dalam peradaban Islam selanjutnya.

selengkapnya......

PENGARUH TAUHID DALAM PERADABAN ISLAM

Pada bahasan sebelumnya telah dibicarakan seperti apa konsep ketuhanan Islam yang tertuang dalam ajaran tauhid. Kini tiba saatnya untuk melihat seperti apa konsep ketuhanan tersebut memberikan warna terhadap peradaban Islam. Dalam konsep ketuhanan Islam, Allah merupakan otoritas tunggal yang memiliki kekuasaan yang mutlak terhadap alam raya ini. Sehingga segala sesuatu harus tunduk dan patuh di bawah otoritas ketuhanan. Namun sayangnya jika konsep ini dipahami secara serampangan dan membabi buta, yang terjadi bukan lagi sebuah teologi pembebasan, teologi yang membebaskan manusia dari cengkraman para dewa-dewa yang rakus terhadap sesaji manusia, atau pun teologi melepaskan belenggu manusia dari berbagai tindakan manipulasi yang dilakukan oleh golongan yang mengklaim sebagai perantara Tuhan. Sebaliknya, yang terjadi justru konsep ketuhanan yang bersifat teosentris yang begitu ekstrem yang membelenggu kreatifitas manusia, yang memenjarakan manusia dalam dogma-dogma buta agama.

Sejak awal, gerakan revolusi yang digagas oleh nabi Ibrahim dan tentunya nabi Muhammad, berusaha melepaskan tirani paganisme yang memenjarakan kreatifitas kemanusiaan. Konsep tauhid hadir untuk merestrukturisasi kembali hubungan manusia dengan Tuhan mereka. Semua manusia adalah sederajat dihadapan Tuhan dan tauhid berusaha menyatukan mereka dalam nilai kemanusiaan dan penghambaan kepada Tuhan. Tauhid merupakan upaya pengejawantahan nilai-nilai luhur dalam kemanusiaan dan ketuhanan. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, konsep tauhid justru menjadi konsep monotheisme yang ekstrem yang terlihat seperti penjara bagi kreatifitas kemanusiaan, menjadi alat legitimasi politik dan bahkan menjadi teror bagi progresivitas. Meskipun dampak negatif dari konsep tak dapat diabaikan begitu saja, namun dampak positif dari konsep tauhid dapat menjadi penyeimbang dan penyelaras dari pengaruh konsep tauhid ini. Sehingga dampak negatif tersebut dapat dibenahi dengan mereview kembali nilai murni dari konsep tauhid ini.
Klasifikasi yang kami paparkan di sini secara umum dapat dibagi tiga, yaitu pada identitas, ilmu pengetahuan, dan budaya. Berikut pengaruh konsep tauhid pada beberapa lini kehidupan umat Islam:

selengkapnya......

A. Tahid dan Pembentukan Identitas Umat Islam

Akidah tauhid telah mengajarkan kepada umat Islam, bahwa pusat ontologi tertinggi adalah Tuhan. Keagungan, kemuliaan dan kebesaran adalah merupakan representasi dari wujud Tuhan yang Mutlak. Keagungan, kemuliaan dan kebesaran yang paling tertinggi hanyalah dimiliki oleh Tuhan. Di tangan Tuhan pulalah sumber segala keagungan dan kemuliaan, Dialah satu-satunya berhak memuliakan dan menghinakan siapa yang dikehendakinya (Ridho, vol III, 1947: 270). Ketika seorang muslim bersama dengan Tuhannya, maka keagungan dan kemuliaan ada dalam genggaman mereka, namun jika mereka menjauh dari Tuhannya maka kehinaan akan meliputi kehidupan mereka. Dengan menyandarkan diri kepada Tuhan berarti meletakkan harga diri dalam sebuah kemuliaan dan keagungan yang tanpa batas, dan sebaliknya jika dengan mejauh atau menyandarkan ego pada nafsu manusia maka orang telah melilitkan kehinaan di lehernya.

Dengan kata lain, konsep tauhid mengajarkan bahwa eksistensi tertinggi manusia akan tercapai ketika manusia mampu melebur kesombongan egoismenya dalam keagungan dan kemuliaan Tuhan. Namun perlu ditekankan bahwa peleburan yang dimaksud disini bukanlah peleburan yang bersifat panteistik, akan tetapi yang peleburan yang dimaksud di sini adalah peleburan egoisme dan nafsu dan menempatkan ruh kemuliaan dan keagungan Tuhan dalam dirinya (Iqbal, 2007: 105-106). Sehingga identitas manusia yang tertinggi adalah ketika dia mampu mengejawantahkan sifat Tuhan yang Agung dalam kehidupannya. Sikap penyerahan diri dengan segala bentuk atributnya selanjutnya akan menjadi ciri dan karakter khas yang dimiliki oleh seorang muslim. Sebuah identitas yang menyandarkan kemuliaan dan keagungannya kepada Tuhan.
Dampak positif dari konsep identitas yang diajarkan oleh ajaran tauhid adalah mampu menumbuhkan kepercayaan diri kepada setiap muslim. Kepercayaan diri ini sangat penting untuk membangun peradaban yang masih baru tumbuh. Apalagi Islam waktu itu hadir ketika beberapa persaingan peradaban betul-betul alot. Di satu pihak, imperium Bizantium berperang dengan Persia dalam memperluas wilayah kekuasaannya. Di pihak lain, para penduduk daerah taklukan Islam yang masih menganut agama dan kepercayaan lamanya, berusaha untuk merebut kembali kebebasan mereka yang terenggut. Keadaan ini menuntut agar Islam memiliki identitas tersendiri untuk dapat hidup dan berjuang dalam kancah perebutan hegemoni tersebut. Konsep identitas yang diajarkan oleh tauhid mampu menjawab tantangan ini. Konsep identitas ini mampu menumbuhkan sikap percaya diri untuk hidup dan bertahan ditengah serangan ideologi yang ada.
Dengan berpegang teguh pada akidah tauhid kepercayaan diri yang terbangun dari kemuliaan Tuhan yang Absolut akhirnya membentuk individu yang kreatif dan inovatif. Ajaran tauhid yang mengajarkan bahwa kebenaran tertinggi ada pada Tuhan dan otoritas Tuhan absolut di segala lini kehidupan, menghendaki bahwa umat Islam harus berbangga dengan apa yang telah diberikan Tuhan kepada mereka, yaitu Alquran dan hadis. Kepercayaan diri yang tinggi dan kebanggaan besar terhadap Alquran dan Hadis mampu mempertahankan eksistensi mereka dalam kancah peradaban dunia. Kebanggan itu juga melahirkan semangat kreatif dan produktif untuk melahirkan karya yang mampu memberikan kontribusi penting terhadap peradaban Islam. Semangat kreatif tersebut mendorong mereka untuk mengeksplorasi lebih jauh sumber kebenaran yang mereka yakini yaitu Alquran dan Hadis. Sebab Alquran dan Hadis merupakan anugerah terbesar Tuhan kepada manusia. Slogan yang ada pada waktu adalah “nahnu qaumun a’azzanallahu bil Islam, inibtagahaina ghairahu adzallanallah”, kami adalah umat yang dimuliakan dengan dan karena Islam, jika kami mencari agama selain Islam, maka Allah akan menghinakan kami.
Semangat kreatif tersebut selanjutkan melahirkan produk budaya yang brilian dan patut untuk mendapat apresiasi yang tinggi atas karya mereka. Hal tersebut dapat terlihat bagaimana Islam mampu melakukan inovasi pada segala ranah kebudayaan. Pada bidang pemerintahan, Islam akhirnya mampu mengembangkan konsep khilafah. Terlepas dari sisi kelam sistem khilafah tersebut, namun konsep pemerintahan Islam ini memiliki ciri yang tidak dimiliki oleh konsep pemerintahan dunia waktu itu. Dalam konsep khilafah mengindikasikan adanya upaya untuk menyatukan suku Arab di bawah satu pucuk kepemimpinan. Pada awalnya khilafah merupakan sebuah konsep yang positif dalam upaya membentuk sebuah imperium yang kokoh di bawah kepemimpinan yang satu dan mengayomi kelanggengan konsep tauhid dalam kehidupan umat manusia. Konsep khilafah juga mengajarkan bahwa perbedaan ras, suku, agama dan atribut lainnya dilebur dalam sebuah konsep wahdatul ummah, ummat yang satu (Fayyoumy, 1998: 12).
Di bidang keilmuan misalnya, dengan berdasar pada identitas yang berlandaskan asas tauhid, kreatifitas mereka juga mampu memproduksi ilmu-ilmu baru yang sebelumnya terpendam dalam Alquran dan Hadis. Ketika mereka berusaha memahami dan berinteraksi dengan Alquran, maka lahirlah ilmu tafsir, bahkan sebagian ulama menganggap bahwa ilmu tafsir merupakan salah satu ilmu yang mulia, sebab ilmu ini berinteraksi dengan kitab suci, dan berusaha memahami makna yang terkandung di dalamnya (Dzahaby: 11). Tak berlebihan jika dikatakan bahwa tafsir merupakan sebuah pendekatan baru untuk memahami kitab suci. Sedangkan dari interaksi umat Islam dengan Hadis Nabi, melahirkan sebuah cara pendekatan baru dalam mencari dan menerima sebuah berita yang benar. Orang yang mengaku telah mendengar sebuah berita atau pengajaran dari Nabi, maka dia harus membuktikan kebenaran klaim tersebut. Pembuktian tersebut dapat dilakukan dengan menganalisa prilaku sehari-harinya atau dengan menggali informasi orang yang mengklaim orang tersebut dengan cara kritis. Ilmu ini dalam Islam dikenal sebagai ilmu Jarh wa Ta’dil. Selain ilmu Jarh wa Ta’dil lahir pula ilmu baru yaitu ilmu ushul hadits yang menjelaskan bagaimana menerima dan meneliti sebuah hadis Nabi dengan melakukan pendekatan kritis terhadap para periwayat hadis tersebut.
Ketiga contoh di atas mungkin cukup untuk menggambarkan seperti apa identitas umat Islam yang berlandaskan konsep tauhid. Walaupun karakter identitas tersebut mengarah kepada bentuk eksklusivisme, namun eksklusivisme tersebut mampu menghasilkan sebuah karya yang inovatif dan memicu kreatifitas mereka. Perlu diakui juga, bahwa pada masa itu memang menuntut sikap ekslusif dari umat Islam, apalagi usia peradaban Islam yang masih muda. Namun ketika usia peradaban Islam yang telah tua dan telah matang apakah itu berarti umat Islam sudah tidak perlu lagi memperlihatkan atribut keislamannya? Selama kebanggaan itu mampu mengarah kepada hal yang positif, kebanggaan itu perlu dan bahkan harus dimiliki oleh tiap-tiap muslim.
Sayangnya kebanggaan tersebut juga berbuah negatif. Seiring berlalunya waktu umat Islam masih terus bergelut dan terlena akan konsep identitas mereka. Sehingga mereka seolah tak mau membuka diri kepada dunia luar, dan terus berbangga dengan apa yang ada pada mereka. Kebenaran seolah telah disegel untuk mereka saja, sehingga ketika ada kebenaran yang ditemukan di luar kalangan mereka, mereka cepat-cepat mengatakan bahwa itu hanya ulangan atau kebenaran itu telah disampaikan sebelumnya baik oleh Alquran maupun hadis. Contoh yang paling konkrit terlihat bagaimana ilmu-ilmu keagamaan, baik itu tafsir, hadis, fiqh dan tasawwuf begitu mendominasi dalam dunia Islam sampai sekarang ini. Padahal apa yang dikaji dalam ilmu tersebut hanyalah merupakan ulangan dari bahasan para ulama terdahulu. Kajian mereka hanya sebatas memanaskan kembali sup yang telah dingin, mereka tidak mampu mengembangkan metode yang lebih kritis atau mengembangkan ilmu tersebut kearah yang lebih inovatif. Tak heran ketika kita melihat bahwa salah satu problematika yang dihadapi oleh umat Islam sekarang ini adalah bagaimana mereka berinteraksi dengan turats yang merepresentasikan produk budaya dan sekaligus cerminan identitas umat Islam. Lebih ironis lagi ketika mereka berpuas diri dengan apa yang dihasilkan oleh para ulama yang terdahulu tanpa mau mengambil pelajaran dari umat dan bangsa lain. Melihat urgensi masalah ini, maka pada poin selanjutnya akan dibahas permasalahan tauhid dan ilmu pengetahuan.

selengkapnya......

B. Tauhid dan Ilmu Pengetahuan

Pada pembahasan di atas telah disinggung relasi antara tauhid dan identitas, bagaimana ajaran dan nilai tauhid dituangkan dalam konsep identitas. Konsep identitas yang berdasar pada ajaran tauhid menanamkan dalam sanubari seorang muslim rasa cukup terhadap apa yang mereka miliki, bangga atas karunia yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka, dan rasa percaya diri untuk berunjuk gigi dalam kancah peradaban dunia. Salah satu wujud konkrit dari pengejawantahan konsep identitas tersebut adalah dalam bidang ilmu pengetahuan, sebagai mana yang telah dipaparkan di atas


Sebelum membahas problematika ilmu pengetahuan dalam Islam, hendaknya dijelaskan karakter dasar bagi epistemologi Islam.
Dalam Alquran dijelaskan:
{قل لو كان البحر مدادا لكلمات ربي لنفد البحر قبل أن تنفد كلمات ربي ولو جئنا بمثله مدادا }
Artinya: Jikalau sekiranya air laut dijadikan sebagai tinta untuk menuliskan ilmu Tuhanku maka akan habis air laut itu sebelum habis ilmu Tuhanku, dan tak akan habis ilmu Tuhanku walaupun didatangkan air laut yang sama. (QS: 18: 109).
Razy mengemontari ayat ini bahwa, jika anda ingin mengetahui seberapa luas dan dalam ilmu Tuhan, maka jadikanlah lautan sebagai tintamu untuk menuliskan ilmunya, sampai tinta itu habis dan kering ilmu Tuhan belum habis sebab bagaimanapun lautan luasnya tak akan pernah mampu menuliskan ilmu Tuhan yang tak terbatas (Razy, vol XVI: 177). Sebenarnya telah jelas bahwa di tangan Tuhanlah terletak otoritas epistemologi tertinggi. Ilmu Tuhan adalah representasi sebuah kebenaran yang hakiki. Menakar ilmu Tuhan sama halnya menuliskan sesuatu yang tak akan dan tak mungkin habis. Seolah ayat di atas memperlihatkan kepada manusia betapa kerdilnya mereka di hadapan Tuhan.
Akan tetapi, ayat di atas tidak menunjukkan bahwa manusia tidak mampu mengais secuil ilmu Tuhan. Justru ayat di atas memperlihatkan dan menggambarkan sikap yang sewajarnya dimiliki oleh seorang muslim. Seorang muslim sewajarnya tak letih untuk terus menuliskan dan menggali ilmu Tuhan. Sebab Tuhan telah menjamin bahwa ilmuNya tak akan pernah habis, sekuat dan segigih apapun manusia mengeksplorasinya. Konsep epistemologi ini secara substansial hampir identik dengan konsep identitas yang menghendaki tuntutan mengeksplorasi karunia Tuhan yang dianugerahkan kepada mereka. Dampak positif dari ajaran ini sebagian telah disinggung pada permasalahan identitas di atas. Selanjutnya kami akan menambahkan penjelasan tersebut, namun pada bahasan ini akan kami tekankan metode yang digunakan oleh ulama terdahulu dalam mengeksplorasi pengetahuan yang ada, khususnya pengetahuan yang bersumber dari luar Islam.
Ulama Islam terdahulu mempunyai sikap tersendiri ketika berinteraksi dengan ilmu-ilmu yang berasal dari luar Islam. Walaupun tidak semuanya sepakat untuk menerima ilmu yang masuk ke lingkungan Islam, tetapi ulama yang mampu berinteraksi dengan peradaban lain dan mengeksplorasi khazanah ilmiah yang ada pada peradaban lain tersebut, tidak serta-merta meruntuhkan identitas dan konsep dasar epistemologi ulama Islam. Justru mereka mampu memanipulasi khazanah ilmiah tersebut dan menggunakannya sebagai pisau analisa baru dalam menggali dan mengais hikmah yang ada pada teks keagamaan. Hassan Hanafi menyebut metode mereka dengan; La Pseoudo Morphologie, التشكل الكاذب, konformasi atau penyesuaian palsu. Konformasi palsu yang dimaksud adalah menggunakan bentuk, alat atau bahasa yang ada pada peradaban lain untuk mengungkapkan realitas yang tak disebutkan dalam syariat. Konformasi palsu tersebut sangat banyak terlihat dalam kajian filsafat dan ilmu manthiq. Dalam filsafat misalnya, karena terjadi gerakan penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya pemikir dari peradaban sebelum Islam, baik dari Yunani, Helenistik dan Assyirian, memaksa para ulama Islam untuk beradaptasi dengan tuntutan zamannya. Kata (الله) misalnya, dalam kajian-kajian filsafat berubah menjadi (واجب الوجود), (العلة الأولي) atau (المحرك الأول). Namun kata tersebut tak kehilangan identitas ataupun essensi keislamannya (Hanafi, 1983: 61). Demikian juga yang terjadi dalam ilmu manthiq, silogisme logis yang diprakarsai Aristoteles, direproduksi lagi oleh para ulama ushul fiqh dengan metode yang dikenal sebagai qiyas. Meskipun ilmu tersebut dari luar Islam, namun mereka menerimanya dengan kritis sebelum mereka memasukkannya dalam khazanah Islam. Walaupun mereka harus bersinggungan dengan peradaban lain, namun itu tak berarti menghilangkan identitas mereka sebagai umat Islam. Dengan kata lain, epistemologi tauhid membimbing mereka untuk membuka demi mengeksplorasi kalimat Tuhan yang tak akan habis.
Di sekitar abad ke lima belas, ketika Barat telah mulai bangkit dari tidur panjang mereka, dan yang terjadi di dunia Islam justru sebaliknya. Semangat untuk membuka diri itu, tiba hilang entah kemana. Epistemologi tauhid berubah menjadi sebuah epistemologi ekslusif yang tak mau membuka diri kepada peradaban lain, elastisitasnya tiba-tiba lenyap, dan semangat beradaptasi dan mengeksplorasi ilmu-ilmu lain selain yang ada dalam Islam menjadi tak diindahkan lagi. Umat Islam kehilangan semangat itu. Semangat yang diperlihatkan oleh ulama terdahulu, ketika mereka melihat sebuah ilmu baru yang akan berkembang, mereka mempelajari, menganalisanya dan yang lebih penting lagi mereka menggunakan ilmu tersebut sebagai pisau bedah untuk menjawab tantangan realitas mereka (Hanafi, 1983: 65). Sehingga mereka tak pernah ditinggalkan oleh peradaban, dan tentunya mereka terus mengikuti arus peradaban mengalir. Tiba-tiba semangat itu hilang.
Salah satu penyebabnya adalah ketika identitas tauhid berubah dan kebanggaan sudah tidak disandarkan lagi kepada Tuhan. Akan tetapi kebanggaan tersebut justru disandarkan kepada pencapaian masa lalu. Apa yang telah dicapai oleh ulama yang jelas-jelas sebagai usaha mereka untuk menjawab tantangan realitas yang ada di zaman ulama tersebut, justru digunakan sebagai pisau analisa untuk menganalisis realitas yang telah berbeda. Ironisnya, bukan pisau mereka yang dapatkan akan tetapi besi yang telah berkarat untuk memecahkan batu besar yang ada di hadapan mereka.
Problematika ini semakin akut ketika epistemologi tauhid berubah menjadi sebuah sikap ekslusif yang ekstrem. Ketika mereka mengklaim bahwa kebenaran hanya ada dalam sebuah teks dan apa yang diriwayatkan dari ulama terdahulu. Mereka menutup diri dari apa yang dihasilkan oleh para ilmuwan yang bukan dari kalangan mereka, bahkan mereka mengklaim bahwa itu adalah produk orang kafir. Mereka cukup dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang saleh yang terdahulu. Sehingga yang terjadi, elestitisitas Alquran yang shalih likulli makan wa zaman, yang cocok untuk setiap zaman dan tempat, seolah tak terdengar lagi. Justru elestisitas itu dibuat kaku oleh keangkuhan mereka untuk memaksakan pendapat para ulama dahulu untuk menjawab realitas kontemporer. Permasalahan bayi tabung, mencangkok organ dan bunga bank justru harus dan wajib dicari jawabannya pada buku fiqh yang telah berusia ratusan tahun. Seolah pendapat ulama tersebut berubah menjadi teks suci baru dalam agama Islam yang menandingi Alquran itu sendiri (Zayd, 1995: 20).
Kecendrungan ini akhirnya melahirkan sikap taqlid yang terlalu ekstrem untuk mengikuti pendapat orang terdahulu. Taqlid pun menjadi sebuah gerakan untuk mendewakan teks yang telah using. Padahal, pada awalnya ketika nabi Muhammad masih hidup, beliau adalah referensi utama dalam problematika keagamaan. Dalam masalah keagamaan para Sahabat berusaha mengeksplorasi nilai-nilai keagamaan dengan bertanya, berdialog dan berdiskusi dengan Nabi. Tak jarang Nabi sependapat dengan beberapa Sahabatnya ketika melihat analisa dan hipotesa sejalan dengan semangat ajaran Islam. Demikian juga para Sahabat sering menginterupsi pendapat Nabi, dan mempertanyakaan validitas pendapat beliau. Sehingga yang terlihat adalah semangat diskusi dan dialog antara realitas yang dihadapi di masa Nabi dengan Alquran yang merupakan wahyu langit. Dalam memberikan pandangan dan pendapat, Nabi tidak memperlihatkan sikap arogansi dan otoritas dalam mengklaim sebuah kebenaran, akan tetapi beliau senantiasa meminta pendapat para Sahabatnya untuk menemukan solusi yang ideal terhadap sebuah perkara. Bahkan Nabi dengan tegas mengatakan bahwa kalian lebih mengetahui perkara dunia kalian. Pandangan yang diberikan Nabi ini, seolah-olah terlupakan oleh kaum muslimin dalam melihat realitas kontemporer mereka (Zayd, 1995: 16-17)
Semangat dialog, diskusi dan musyawarah yang dikembangkan oleh Nabi, tiba-tiba hilang ditelan keganasan arus ekslusivitas yang ekstrem itu. Kembali lagi Tuhan diperlihatkan sebagai otoritas tunggal dalam segala hal tak terkecuali dalam tataran epistemologis. Kebenaran yang tertinggi adalah kebenaran yang bersumber langsung dari Tuhan. Tak ada yang salah dari doktrin dan cara pemahaman seperti ini, tapi yang bermasalah adalah metode yang ditawarkan untuk mengaplikasikan jargon ini. Secara serampangan Tuhan harus dihadirkan dalam setiap permasalahan epistemologis yang berkembang. Pendapat yang diridhoi adalah pendapat yang secara yang mempunyai ayat dan hadisnya. Sehingga Alquran dipaksa untuk menjawab permasalahan yang sebenarnya Tuhan telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk mencoba dan mencari solusi yang sesuai dengan tuntutan realitasnya. Lebih ironis lagi, hasil kreasi dari akal mulai dicurigai dan dipertanyakan validitasnya, akal tak lebih dari sekadar abdi teks yang otoriter. Hasil dari produktivitas akal yang tak sesuai dengan teks akan ditolak dan diperparah dengan klaim kufur bagi individu yang berusaha melakukan inovasi dalam mengoptimalisasi kinerja rasio. Hal tersebut diperparah oleh munculnya hadis yang mengancam orang-orang yang menafsirkan Alquran dengan akal dan logikanya dan sang penafsir tak tahu apa-apa, maka sang penafsir harus bersiap-siap untuk menempati jatahnya di neraka kelak. Kecendrungan tekstualis yang seperti inilah yang akhirnya mengarah kepada kecendrungan positivism logis deterministik . Hal tersebut terlihat jelas dari interaksi mereka dengan golongan-golongan yang tidak sepaham dengan mereka, dengan mudahnya para kaum tekstualis menghukumi golongan yang berbeda dengan kekufuran. Sejarah telah mencatat bagaimana perselisihan antara kaum tekstualis dengan golongan kontekstual, antara tafsir dan ta’wil.
Kaum tekstualis dalam perkembangannya, akhirnya bermetamorfosis menjadi golongan radikal yang ekstrem, yang terlalu semena-mena mengatasnamakan Tuhan dalam setiap penafsirannya. Sehingga yang terjadi ajaran-ajaran luhur keislaman harus tertutupi dengan penafsiran dan klaim yang mengatasnamakan Islam. Hal inilah yang sangat disesali dan problematika inilah yang menjadi problematika yang paling serius yang dihadapi oleh umat sekarang ini. Padahal jika dicermati lebih dalam, ternyata perangkat logika dan rasio merupakan salah satu anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepada manusia. Demikian juga, ayat Tuhan bukan hanya ayat yang tertulis dalam Alquran, tapi ada ayat lain yang tak kalah pentingnya yaitu realitas dan pengalaman manusia yang berfungsi sebagai ayat kauniyah.

Daftar Pustaka
Asyqar, Umar Sulaiman, Dr., 1991, Tauhid Mihwar Hayah, Daar Nafais, Oman, Pdf.

Badawy, Abdurrahman, Dr., Min Tarikh Ilhad fi Islam, Siinaa Li Nasyr, Cairo. Pdf.

Dzahaby, Muhammad Husin, Dr., tanpa tahun, ‘Ilmu Tafsir, Daar Ma’arif , Cairo. Pdf.
Hanafi, Hassan, Dr., 1983, Fi Fikrina Mu’ashir, Daar Tanwir, Beirut. Pdf

Hornby, A.S., 1995, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford University Press, Oxford.

Ibnu Asyur, Muhammad Thohir, vol I & XXX, 1884, Tafsir Tahrir wa Tanwir, Daar Tunisiyyah Lin Nasyar, Tunis, Pdf.

Ibnu Manzhur, Jamaluddin Abu Fadhl Muhammad, tanpa tahun, Lisan Arab, Daar Ma’arif, Cairo, Pdf.

Imarah, Muhammad, Dr., 2005, Islam wa Filsafah Hukm, Daar Shorouk, Cairo.

Iqbal, Muhammad, 2007, Risalah Khulud, komentar dan editor ; Dr. Sa’id Jamaluddin, Makatabah Syuruq Dauliyah, Cairo.

Jurjany, Sayyid Syarif Abu Hasan, 2002, Ta’rifaat, Daar Al-Kotob Al-Ilmiyah, Beirut.

Nassyar, Samy, Dr., vol I, 1995, Nasy`ah Fikr Falsafy fi Islam, Daar Ma’arif, Cairo.

Munazzamah ‘Arabiyyah Li Tarbiyah wa Tsaqah wa ‘Ulum, tanpa tahun, Mu’jam ‘Araby Asasy, Maktabah Laros, Cairo.

Razy, Fakhruddin, vol XVI & XXXII, tanpa tahun, Tafsir Kabir, Daar Fikr, Damaskus, Pdf.

Ridho, Sayyid Muhammad Rasyid, vol I & III 1947, Tafsir Qur`an Hakim, Daar Manaar, Cairo, Pdf.

Shabbag, Ammad, 1998, Ahnaf Dirasah fi Fikr Diny Tauhidy Fi Manthiqah Arabiyyah qabl Islam, Daar Hashad, Damaskus, Pdf.

Zayd, Nashr Hamid Abu, Dr., 1995, Nash, Sulthah, Haqiqah, Markaz Tsaqafy Araby, Beirut. Pdf.

selengkapnya......

Thursday, February 10, 2011

a. Di Ufuk Fajar Sebuah Pesantren

Sekitar tujuh atau delapan tahun yang lalu, tepatnya di tahun dua ribu dua sebuah perjalanan hidup dan kisah yang biasa kembali harus berjalan. Secara sepintas Dai melihat tahun ini tak ada yang menarik, kecuali dia memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan lingkungan yang baru yang dirasakannya. Sebelumnya Dai pernah mengecap pendidikan di sebuah podok pesantren yang ternama di Sulawesi. Namun sayang, Dai lebih sering membuat guru dan pembinanya kewalahan mendidiknya, bahkan ketika menjelang ujian akhir kelas tiga Tsanawiyah, Dai sempat dideportasi dari sekolahnya.

Dai begitu bebal dan bandel, mungkin karena kebutuhan eksistensialnya yang membuatnya bertingkah demikian. Sebab kebutuhan manusia mampu digambarkan dengan sebuah piramida, di dasar lapisan bawah terdapat keinginan materil, di lapis kedua terdapat keinginan psikologis, dan dilapisan teratas terdapat kebutuhan yang paling diimpikan yaitu kebutuhan eksistensial. Kebutuhan tertinggi ini merupakan sebuah representasi kebutuhan untuk dikenal dan dirasakan kehadirannya oleh orang lain, yaitu sebuah kebanggaan ketika orang lain mampu merasakan dan menghormati keberadaan manusia tersebut.


Faktor inilah barangkali yang membuat Dai ingin dikenal, Dai ingin dirasakan kehadirannya oleh orang lain. Sehingga untuk person yang baru mengalami puberitas, salah satu jalan untuk mengungkapkan eksistensinya dengan bertingkah aneh, merusak peraturan, dan melanggar tata tertib. Atau mungkin ini adalah sebuah pengaruh dari kultur budaya yang ada di Sulawesi, yang begitu kental dengan kehormatan dan kebanggaan diri yang dominan. Kehormatan dan kejantanan seseorang terkhusus kepada kaum pria merupakan hal yang paling vital dalam masyarakat Sulawesi, yang dikenal sebagai budaya siri dan pacce. Nilai etik dan estetik dari budaya siri-pacce, kadang tak mampu dirasakan kehadirannya, tapi sangat mengakar di kalangan masyarakat Sulawesi.

Karena ulah dan tingkahnya yang membuat para pembinanya merasa jengkel, akhirnya Waka Kesiswaan mengambil keputusan untuk memecat Dai, walaupun waktu itu ujian akhir tinggal tiga atau dua bulan lagi. Meskipun sempat menangis terisak-isak seperti Raju yang ada di film 3idiots, namun ternyata ini tak membuat Dai jera, malahan Dai sempat bermain kucing-kucingan dengan Bapaknya, yang berusaha menangkap dan membawa Dai kembali ke pesantrennya.

Wajarlah tindakan seorang Bapak yang berprofesi seorang pendidik yang ingin melihat anaknya sukses di bidang akademik, dan satu lagi, anaknya ini cuman satu-satunya yang menempuh pendidikan pesantren yang konvensional di kalangan keluarganya, sehingga betapa kecewa sang Bapak ini, jika di saat-saat terakhir anaknya harus dipecat. Tak terbayang betapa pengorbanan seorang Bapak, yang rela bermandi hujan dalam perjalanan Makassar-Barru, hanya untuk menjenguk dan membawa bekal untuk keperluan anaknya. Tak terbayang betapa sedihnya seorang Bapak, yang rela melepas anak lelaki satu-satunya, isak tangisnya tak dia perlihatkan di depan si anak, Bapak hanya menangis ketika anaknya membelakanginya. Dalam sedih yang terbungkam itu, sang Bapak dengan terbata berkata, “Nak nuntut ilmu tuh seperti itu, suatu saat derita ini, tangis dan isakmu akan terbayar dengan kebahagiaan..!”. Kekecewaan itu begitu besar ketika kebanggaan dan sumber ekspektasi keluarganya harus berakhir dengan kekecewaan ketika anaknya dipecat, hanya gara-gara penyakit puberitas anaknya yang terlalu kelewatan.

Dengan tabah, sang Bapak mengantar anaknya kembali ke pesantren. Meski Bapak harus mengemis dan memohon kepada pembina pesantren agar supaya anaknya dapat diterima dan mondok kembali di pesanren itu, bukan masalah, yang penting anaknya mampu melanjutkan pendidikan pesantren. Syukurlah si anak lumayan cerdas, walaupun tak seberapa, akhirnya Dai mampu lulus ujian serta mendapat ijazah mondok dan berhak untuk lanjut ke jenjang selanjutnya.

Sebenarnya, Dai sudah lelah untuk melanjutkan ke pondok lagi, Dai ingin lanjut di SMA Telkom Makassar, sebab Dai menilai sudah cukuplah ilmu agama yang diperolehnya, alasan ini yang diutarakan di depan Bapaknya. Padahal Dai hanya ingin bedalih dan ingin bebas dari kungkungan kehidupan pondok yang begitu mendera namun mendidik, beralih ke instansi pendidikan umum yang lebih bebas. Tentunya juga sebagai lelaki yang mengalami gejolak puberitas yang menggelora, Dai ingin mendapatkan kenalan atau bahkan pacar, untuk dapat dipertontonkan di hadapan teman-teman sebayanya.

Tapi sang Bapak kurang setuju, bahkan mengingatkan cita-cita awal anaknya yang ingin berangkat ke Mesir untuk menimba ilmu agama. Keinginan ini berawal, ketika mendengar pengarahan opening ceremonial pimpinan pondok yang begitu mengagumkan, sehingga sejak saat itu Dai berharap untuk dapat mengecap pendidikan di Mesir. Pertimbangan inilah yang membuat keinginan anaknya tertolak, sebab Bapak tahu, kalau anaknya punya potensi untuk melanjutkan kuliah di negeri Kinanah sana. Akhirnya dengan berat hati Dai menerima keputusan itu, dan Dai pun mendaftar untuk ikut tes seleksi masuk ke Madrasah Aliyah, yang ternama di Makassar. Dai pun diterima untuk mondok di pesantren tersebut, dan waktu untuk kembali lagi ke penjara yang mengungkung gejolak puberitasnya pun telah tiba.

Setelah melewati seminggu ospek yang begitu memalukan, Dai bersama teman-temannya akhirnya bisa bernafas lega, kengerian dan kesangaran senior mulai terkurangi. Tak ada lagi jalan bebek menuju kelas, yang harus melewati barisan para gadis, yang membuat malu, tak ada lagi perintah untuk hormat ke tiang listrik di tengah kumpulan siswi yang bertetanggaan dengan pondok mereka. Sebab sekolah mereka tidak lagi berada di gunung atau tempat terpencil lagi, sekolah mereka sekarang berbagi lokasi dengan beberapa instansi pendidikan lainnya, ada perguruan tinggi, ada Aliyah umum dan terakhir Tsanawiyah umum. Dan ospek yang memalukan itu telah berakhir. Sekarang saatnya untuk memulai materi dan proses belajar mengajar.

Di hari pertama, Dai dan teman-temannya pertama kali terkumpul dalam kelas. Dan Dai baru tahu, kalau ternyata Dai memiliki teman sekelas perempuan. Ada yang berbeda dari aura ruangan kelas yang Dai rasakan. Wajar selama tiga tahun mondok di pesantren hanya satu jenis saja teman sekelasnya, sedangkan untuk melihat yang makhluk yang namanya perempuan, harus melewati prosedur admisi yang ketat dan hanya di hari tertentu saja, yaitu hari pasar, Jumat. Maklum sebuah pondok yang berada di pelosok kabupaten Barru.

Dai memiliki teman sekelas empat orang perempuan, dan dua puluh delapan putra. Sungguh merupakan statistik yang betul-betul tak adil dan bahkan tak berprikemanusiaan. Ironisnya lagi, Dai yang begitu menggebu-gebu untuk pamer diri, harus rela, sebab para wanita yang menjadi teman sekelasnya begitu tertutup dan bahkan memilih tempat duduk tersendiri.

Dai pusing. Sembari berpikir bagaimana caranya untuk dekat dengan salah satu dari mereka, terutama gadis yang bernama Rafiqah. Rafiqah adalah anak dari salah satu pendidik yang ada di pesantren itu. Tapi bukan karena Rafiqah adalah anak guru yang membuat Dai tertarik kepadanya. Terlalu dini untuk seorang anak Aliyah mengenal bagaimana sistem nepotisme. Dai tak tahu apa, yang jelas aura Rafiqah begitu menghujam dalam hatinya. Seperti bintang kejora yang berpijar di tengah pekatnya malam, pijar cahaya yang dipancarkan Rafiqah memikat seluruh penduduk kelas yang ada di ruangan itu. Tak terkecuali Dai. Saya tidak ingat apakah Dai merupakan orang yang pertama di antara para pria yang ada di kelasnya yang berani berkenalan dengan Rafiqah, ataukah sudah ada yang lain. Yang jelas perkenalannya sangat simpel dan sederhana. Rafiqah merupakan bintang yang sinarnya begitu istemewa.

“Sekolah asalmu dari mana”, ucap Dai, yang sok kenal dan sok akrab. Rafiqah dengan halus dan nada yang sangat sopan menjawab, “dari Tsanawiyah yang di depan”.

“Owhh…”, jawab Dai singkat, seolah perkenalan itu tak berbekas dan hanya sepintas lalu saja. Pandai dia menyimpan perasaannya dalam hati yang sebenarnya sudah sangat gembira, karena telah berhasil ngobrol dengan Rafiqah. Padahal waktu itu, pengumuman seleksi masuk untuk tes pondok itu sedang diumumkan oleh seorang pembina. Dai begitu mengawan dan melangit, karena Dai telah berhasil berkenalan dengan Rafiqah. Tanpa sadar pengumuman untuk juara pertama disebutkan, ternyata nilai tertinggi untuk seleksi masuk itu jatuh ketangan Dai. Dengan kata lain, Dai menjadi peringkat satu selama satu semester mendatang. Dia tak sadar.

“Untuk peringkat pertama, dari nilai seleksi masuk Ponpes MA… Bla… bla… jatuh kepada, Dai..”, kata seorang Ustadz yang begitu bersemangat. Tapi Dai, masih asyik menikmati perkenalan pertamanya dengan Rafiqah. Untunglah saat itu separuh jiwanya masih memijak bumi, dia sadar kalau dia sekarang telah meraih sebuah kebanggaan. Bahkan dia mendapat ucapan selamat dari Rafiqah, yang duduk bersebelahan dengan Dai. Sungguh sebuah kenikmatan jika sebuah prestasi mampu diapresiasi oleh orang lain, apalagi dari seorang Rafiqah.

Dengan bangga, Dai berjalan kedepan kelas untuk menerima penghargaan itu. Rafiqah hanya tersenyum. Tak ada gelagat lain yang diperlihatkan apalagi sebuah kekaguman. Namun dalam hati Dai sudah senang dan gembira. “Jalan masuk untuk ke pintu hati Rafiqah sudah sudah mulai terbuka satu pintu, sekarang tinggal melewati beberapa pintu lagi yang masih kokoh dan rapat terkunci…”, tuturnya dalam hati. Entah dapat teori dari mana si Dai, yang begitu pede kalau pintu hati Rafiqah telah terbuka satu pintu untuknya.

Dai kembali ke tempat duduknya, yang ada di sebelah Rafiqah, setelah menerima penghargaan itu. Kali ini aura kesombongan sudah mulai menyerbak dari sosok Dai. Awalnya, Dai yang duluan menyapa dan memulai pembicaraan tadi. Tapi sekarang dengan angkuh dan congkak, Dai kembali ke tempat duduknya tanpa pernah memalingkan pandangannya ke arah Rafiqah. Dia pun sok mengikuti dengan serius arahan dan nasehat yang diberikan oleh Ustadz yang membacakan inaugurasi tadi. Tapi ujung matanya ternyata sekali-kali menatap ke arah Rafiqah. Sebuah lirikan yang munafik.

Tepat jam Sembilan, pengumuman seleksi tes dan arahan tadi berakhir. Waktu istirahat tiba. Dai masih tetap memantulkan pancaran aura kesombongan dan kecongkan-nya. Sebelum keluar pembina yang mengisi jam pertama tadi berpesan kepada para siswa, agar jam istirahat nanti digunakan untuk bersih-bersih ruangan.

Tentu, kalau urusan bersih-bersih yang paling bersih pasti cewek. Mereka begitu perfeksionis. Ketika Dai sedang menghapus papan tulis, tiba-tiba suara Rafiqah yang lembut itu terdengar di kuping Dai. “Dai tolong lawa-lawa yang ada di kolong meja guru sekalian dibersihkan”, pinta Rafikah dengan sopan.

“Hah…! Lawa-lawa yang mana..?”, jawab Dai.

“Yang itu loh sarang laba-laba yang halus itu yang ada di kolong meja guru itu”, kata Rafiqah.

“Owh… Ini namanya lawa-lawa toh..?”, kata Dai, yang berusaha mencari bahan candaan dengan Rafiqah.

Ada bahasa Indonesianya gak..? Jangan pake bahasa Inggris dong..!” sahut Dai sambil tersenyum cengir yang berusaha memancing Rafiqah tertawa.

Rafiqah hanya tersenyum cemberut, sambil menggerutu, “ihh… Sebel deh..!”.

Dai hanya tertawa menikmati kemenangannya. Seolah dia mendapatkan guyuran air segar ketika melihat senyuman Rafiqah tergurat di bibirnya. Apalagi senyuman itu ditujukan untuknya. Dai sudah terhanyut oleh pesona itu yang membawanya ke samudera impian. Tapi bukan Dai namanya, kalau segampang itu dia memperlihatkan perasaannya.

Dai masih tetap tertawa, seolah tawa itu merupakan simbol keangkuhan yang dia tunjukkan. Sedangkan Rafiqah masih tersenyum tersipu, karena ulah Dai. Bahkan Dai pun sudah mulai sok akrab dengan Rafiqah, dia tidak memanggil Rafiqah dengan namanya lagi, tapi dengan lawa-lawa.

Tepat pukul sepuluh kurang seperempat, seorang pembina lain berjalan menuju kelas Dai. Pembina tersebut pengajar Aqidah-Akhlak. Setelah memberi salam, sebagian siswa hening dan menanti dengan sabar, pelajaran yang akan diberikan. Sedangkan yang lainnya masih melongo, membolak-balik buku bacaan yang dijadikan acuan untuk fak yang ada. Mereka heran dan terkejut, melihat tulisan Arab yang tak berbaris, baca yang berbaris saja sebagian siswa masih tersendat-sendat. Apatah lagi jika tak berbaris, terbayang bagai-mana kebingungan mereka tergambar jelas dari raut muka mereka.

Pembina memulai pelajarannya, dengan menantang para siswa yang mampu membaca dan menerjemahkan diktat pelajaran yang ada di hadapan mereka. Tapi sayang, suasana senyap dan sepi, seolah berada ditengah perkuburan yang senyap. Tiba-tiba sebuah suara memecahkan kebuntuan tersebut. Suara tersebut datang di pojok ruangan. Suara si Dai yang memberanikan diri untuk menjawab tantangan itu. Rafiqah masih mencari dari mana asal suara itu, maklum bangku di sebelah Rafiqah sudah kosong. Dai telah berpindah tempat duduk.

Suara Dai memecahkan keheningan kelas itu, yang sempat terbungkam akibat tantangan pembina tadi unuk membaca dan menerjemahkan diktat yang berbahasa Arab tadi. Suara Dai menggelegar dan membaca dengan fasih tulisan Arab yang ada di depannya dan menerjemahkannya dengan lancar. Maklum waktu dia Tsanawiyah, kitab gundul sudah menjadi sarapan paginya di pondoknya dulu. Sehingga dia tidak canggung lagi untuk bercengkrama denga literatur-literatur Arab.

Sejak saat itu, Dai sudah semakin superior di kelasnya. Dia menjadi rujukan teman-temannya ketika ada pelajaran yang tidak dipahami. Dai begitu menikmati keadaan ini. Apalagi kalau yang bertanya itu Rafiqah, terlihat jelas air muka Dai yang sangat gembira tapi masih tetap egois untuk menyatakan perasaannya kepada Rafiqah. Dai masih belum tahu, bagaimana cara mengungkapkan perasaannya itu kepada Rafiqah.

Dai hanya mampu mengirim ungkapan perasaan itu lewat tatapan atau pandangan yang tertuju kepada Rafiqah di tengah pelajaran atau pengajian sedang berlangsung. Sehingga tugas Dai, yang paling pertama ketika masuk kelas atau masuk mesjid, adalah mencari posisi yang tepat untuk melemparkan pandangan dan tatapannya kepada Rafiqah. Tatapan mata Dai begitu spekulatif, di samping dia menikmati pancaran keindahan yang merekah dari wajah Rafiqah, dia juga berusaha untuk menyampaikan luapan perasaan kagum yang mendidih dalam hatinya.

Dai lebih suka bermain dalam dunia ide dari pada bercengkrama langsung dengan realitas Rafiqah yang sungguh menawan. Dai tak dapat berbuat apa-apa untuk mengusir semerbak wangi keindahan Rafiqah yang telah menderu-deru dalam hatinya. Tapi sekali lagi Dai seorang sangat ulung mengontrol keadaan hatinya di hadapan Rafiqah.

bersambung...

selengkapnya......

Desakralisasi Ayat-ayat Perang

Dalam beberapa minggu terakhir ini kita disuguhi dua berita kekerasan yang kembali mengusik dan bahkan mempertanyakan sejauh mana urgensi toleransi dan pesan kedamaian yang dibawa oleh Islam dalam upayanya untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang adil. Isu teror dan anarkisme kembali meluluhlantakkan pesan kedamaian dan ajaran kasih sayang yang menjadi identitas agama ini. Umat Islam kembali harus bekerja keras untuk menepis stigma kekerasan, teror, dan barbarian yang mewabah dalam dogma keislaman.

Isu kekerasan, teror, anarkisme, militansi dan barbarian bukanlah isu yang baru, ataukah penyakit yang baru diidap oleh Islam. Tidak. Islam telah lama mengidap penyakit ini, sejak berkobarnya perang Salib sampai peristiwan Nine Eleven yang meledakkan gedung kembar WTC di Amerika Serikat, image teror, militansi dan anarkisme seolah mendapatkan pengejawantahan dalam agama ini. Sayangnya, sampai sekarang belum ada upaya serius yang dilakukan oleh umat Islam untuk melakukan terapi penyembuhan terhadap virus yang menggerogoti nilai estetik yang ada dalam agama ini. Dialog dan konferensi internasional yang diselenggarakan di seantero dunia tidak berbuah apa-apa, sebab umat Islam terlalu ekslusif dan bahkan memagari dogma mereka dengan 'pagar batu' yang menghalangi umat Islam untuk melihat dan memandang kebenaran yang ada di luar Islam. Keluhuran yang dimiliki oleh nurani dan budi seolah dibungkam oleh interpretasi dan penafsiran yang mengatasnamakan Tuhan, dan bahkan penafsi-ran itu sendiri telah menjadi dogma yang tak dapat dikorek atau diganggu gugat. Istilah kafir, murtad, musyrik dan munafik seolah merupakan term final yang tak dapat disentuh dan bahkan jauh berada dalam realitas manusia. Term tersebut akhirnya menjadi argumen dan dalih untuk menyerang golongan lain yang berbeda dengan keyakinan umat Islam.

Ironisnya, pelaku teror dan kekerasan justru mendapat tempat yang terhormat dan membanggakan dalam doktrin kaum fundamental. Pelaku kekerasan dan teror diiming-imingi balasan syurga bagi mereka yang berhasil terbunuh atau membunuh para musuh Islam. Padahal sampai sekarang saya belum jelas siapa musuh Islam, atau barangkali agama ini yang terlalu sering mencari-cari musuh, sehingga tak mampu membedakan antara kepentingan politik dan kepentingan religius.

Berkaitan dengan peristiwa kekerasan yang menimpa bangsa ini beberapa minggu lalu, bisa saja ada anggapan bahwa dibalik peristiwa kerusuhan tersebut terselubung intrik politik yang berusaha mendiskreditkan image umat Islam. Walaupun kita bisa berlega hati dengan hipotesa tersebut, namun perlu saya tekankan, bahwa image teror dan anarkisme selamanya akan menjadi tunggangan politik jika umat Islam tidak mau berbenah diri dan melakukan reformasi total terhadap doktrin dan ajaran propagandis yang ada dalam dogma Islam. Islam selamanya akan menjadi agama teror dan agama anarkis, jika ayat-ayat perang dan masih dipercaya masih relevan dan sakral untuk masa sekarang ini. Selama umat Islam menganggap bahwa, orang Kristen dan Yahudi tak akan pernah ridho kepada umat sampai umat Islam murtad dari agama mereka (QS: 2: 120), maka selama itu pula toleransi antar- umat beragama tak pernah terwujud, dan rasa curiga akan terus tumbuh dalam sanubari umat Islam. Selama umat Islam meyakini, bahwa kewajiban mereka adalah untuk memerangi dan bahkan membunuh orang-orang yang berada di luar agama mereka, atau sampai orang yang memiliki keyakinan berbeda tersebut memeluk Islam atau membayar jizyah (QS: 9: 29), maka selama itu pula perdamaian dan kerukunan antarumat beragama tak akan pernah terwujud.

Ketika berada dalam tataran filosofis, saya melihat bahwa asal dari segala tindakan teror dan anarkisme yang dijadikan sebagai alat justifikasi terhadap perilaku kaum radikal adalah ayat perang yang lebih cenderung berindikasi terhadap upaya propogandis dan provokator. Terlepas dari apakah unsur politik, ekonomi, sosial dan budaya ikut andil dalam membentuk watak para pelaku teror dan anarkisme. Saya tidak menyepelekan masalah tersebut, akan tetapi saya melihat urgensi dogma dan kepercayaan merupakan faktor utama dalam pembentukan watak dan karakter sang pelaku teror. Sekarang sudah saatnya ayat perang dan ayat provokator tersebut didesakralisasikan. Biarlah ayat tersebut menjadi sebatas bukti historis yang menjadi pelajaran bagi generasi kita ini, tanpa harus menjadi bahan dan komposisi utama dalam pembentukan akidah dan watak kaum muslimin. Ayat perang dan ayat provokator tersebut marilah kita jadikan hanya sebatas bacaan ritual yang dibaca dalam salat atau dalam praktek ritual lainnya, tanpa harus berperan dalam membentuk ideologi kaum muslimin.

Mungkin upaya desakralisasi terhadap sebagian ayat-ayat Alquran, dianggap sebagai upaya penistaan dan penghinaan terhadap Alquran. Saya akan menghormati pandangan ini, namun dengarkanlah saya sejenak, simaklah sebentar pemaparan argumen saya. Sudilah kiranya anda bersama saya sekejap untuk menelaah dalil yang saya ajukan. Pertama, upaya desakralisasi Alquran bukanlah merupakan hal yang baru dalam pemikiran Islam. Sebelumnya upaya ini telah diusung oleh Muktazilah dalam konsep khalq Qurannya. Walaupun saya akan berlebihan jika saya mengatakan, bahwa upaya Muktazilah serupa dengan upaya saya ini, namun usaha yang dilakukan Muktazilah adalah untuk meletakkan Alquran berada dalam realitas manusia. Alquran bukanlah sebuah kitab suci yang memiliki dimensi transendental yang jauh dari kehidupan manusia. Alquran merupakan kompilasi pengalaman realitas nabi Muhammad yang mendapatkan panduan dari Tuhan, dan sangat jelas kita ketahui realitas di satu sisi memiliki keterbatasan, namun nilai yang dikandungnya di sisi lain memiliki aspek universal. Terlalu gegabah untuk mengatakan bahwa ajaran Alquran mencakup seluruh realitas manusia yang terlalu kompleks dan multidimensi. Sehingga dapat saya katakan ada ayat yang sudah tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi kita sekarang ini, sebab ayat itu hanya terkhusus kepada pengalaman pribadi Nabi yang tak dapat diaplikasikan dalam kehidupan universal seluruh umat Islam. Kita ambil contoh, peristiwa kawinnya Nabi dengan istri anak angkatnya, Zaid, yang terekam dalam Alquran. Secara etis kita mungkin miris dan dongkol dengan peristiwa ini, dan ini hanya dibolehkan kepada Nabi seorang. Namun, bila kita telaah lagi lebih dalam, dimana letak kesakralan peristiwa tersebut, bukankah ayat yang membahas masalah ini hanyalah sebatas pemaparan pengalaman personal Nabi, yang kini sudah tidak relevan lagi?

Kedua, dalam ilmu ushul fiqh kita mengenal konsep nasikh dan mansukh. Secara sederhana defenisi dari nasikh-mansukh ini adalah penghapusan nilai hukum yang dikandung oleh sebuah ayat dan digantikan dengan hukum atau peraturan baru. Dalam Alquran terdapat ayat yang hanya berupa teks saja, dan tidak memiliki nilai hukum namun masih tetap tertera dan tercantum dalam Alquran. Misalnya, ayat-ayat yang berkaitan tentang pelarangan khamr dan judi. Terdapat tiga jenis ayat dalam Alquran yang bercerita tentang khamr dan judi. Klasifikasi pertama, ayat tersebut secara netral berbicara tentang minuman keras dan bejudi. Ayat tersebut memaparkan manfaat arak dan judi tanpa menyinggung persoalan hukum di dalamnya. Jenis yang kedua, ayat yang melarang kaum muslimin untuk tidak minum arak menjelang salat, tapi ayat ini tidak melarang secara keseluruhan, hanya saja pelarangan yang bersifat temporal, ketika akan melaksanakan salat saja. Jenis ketiga, ayat yang secara tegas melarang meneguk arak di semua waktu atau sudah bersifat mutlak. Walaupun saya kurang setuju terhadap klasifikasi ini, namun jika kita menerima klasifikasi ini, bukankah ini berarti jenis ayat yang pertama dan kedua, sudah tidak memiliki kesakralan dan fungsi hukum lagi? Tidakkah ayat pertama dan kedua tersebut sudah tidak relevan lagi di zaman ini? Apakah saya dapat berdalih ketika saya ingin meneguk minuman keras dengan menggunakan ayat pertama dan kedua? Jika hal ini kita terima, mengapa ayat perang tidak disikapi seperti ini? Mengapa ayat perang masih memiliki kesakralan ditengah upaya yang dilakukan umat Islam untuk menebarkan pesan kedamaian dan keselamatan?

Ketiga, memang di dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang sudah lapuk ditelan zaman dan sudah tidak relevan lagi dengan kondisi yang ada sekarang ini. Beberapa ayat dalam Alquran di masa sekarang ini tak lebih dari sekadar rekaman sejarah yang tidak memiliki nilai hukum atau bahkan sudah tidak sakral lagi di mata umat Islam. Ambillah contoh ayat-ayat yang berbicara tentang perbudakan, secara eksplisit Tuhan tidak menjelaskan bahwa ayat ini sudah tidak berlaku lagi untuk masa tertentu, bahkan Tuhan membiarkan ayat tersebut tercantum dalam Alquran. Namun itu bukan berarti bahwa kita harus memaksa masalah perbudakan harus senantiasa ada dan relevan dalam kehidupan manusia. Tidak. Justru fleksibilitas Alquran diuji di sini, apakah kita mau menerimanya begitu sahaja, atau kita mengklasifikasikan ayat Alquran yang relevan dengan kondisi kita. Jika sepasang suami-istri yang melakukan hubungan seksual ditengah hari bulan Ramadhan, ketika mereka tidak sanggup untuk berpuasa selama dua bulan berturut-turut, apakah mereka harus berkeliling dunia untuk mencari seorang budak lalu memerdekannya? Tentu kita akan memberikan pilihan kepada mereka untuk opsi hukum yang lain yaitu memberi makan orang miskin. Tetapi, di manakah letak kesakralah ayat perbudakan tersebut? Bukankah ayat tersebut sudah tidak relevan lagi? Bukankah ayat tersebut sekarang ini hanyalah sebatas bacaan dan rekaman historis yang dibaca pada ritual keagamaan? Hal serupa terjadi juga terhadap hukum potong tangan bagi para pencuri dan qishash bagi para pembunuh. Apakah kita ingin ngotot ingin menerapkan hukum tersebut di masa sekarang ini? Apakah kita lebih menganut formalitas dari ayat tersebut ketimbang mengambil substansi dan esensi yang ada dalam ayat tersebut? Di manakah letak kesakralan ayat tersebut? Nilai hukum apakah yang dimiliki oleh ayat tersebut di masa sekarang ini?

Masalah ayat perbudakan, khamr-judi, hukum potong tangan dan qishash yang telah didesakralisasikan, tidaklah seurgen dengan ayat perang seruan propogandis dan provokator pada ayat lain. Bahkan problem anarkisme dan radikalisme yang menimpa umat Islam sekarang ini sudah sangat mendesak dan perlu untuk disikapi lebih lanjut. Biarlah ayat perang dan provokator tersebut kita jadikan hanya sebatas sebagai bacaan dalam ritual keagamaan dan sebagai rekaman sejarah. Biarlah kesakralan dalam ayat tersebut dicabut dan dihilangkan demi membuka jalan Islam dalam upayanya menebarkan pesan kedamaian di seluruh dunia. Marilah kita membangun citra Islam yang lembut, yang halus, yang jauh dari anarkisme. Sudah saatnya ayat perang tersebut disimpan dan disembunyikan dalam mushaf. Marilah kita membangun identitas Islam sebagai umat yang sangat menghargai perbedaan, menghormati pluralitas. Menjunjung tinggi kebebasan berkeyakinan. Islam tidak rugi jika satu atau dua orang dari pemeluknya berpindah agama, bahkan mari kita hormati mereka. Marilah kita membangun citra Islam yang lebih mengedepankan dialog dari pada adu jotos. Biarkan Islam dikenal sebagai agama yang menghormati agama pagan dan ajaran yang berbeda lainnya, sebab dalam Alquran sendiri Tuhan telah menjamin, bahwa orang-orang yang mengakui keberadaan Tuhan, baik itu dari golongan Kristiani, Yahudi, atau dari golongan Shabiin (pagan), mendapatkan jaminan dari Tuhan di hari Akhir nanti. Tuhan kita satu, kita pun pasti mencintai- Nya, namun kita perlu usaha yang berbeda untuk mengekspresikan cinta kita kepada Tuhan kita. Tuhan terlalu terbatas dan terlalu miskin jika hanya milik umat Islam sahaja.

selengkapnya......